Rambu solo’ atau upacara kematian
yang sering dilaksanakan di Toraja sudah tidak asing lagi didengar di sebagian
kalangan masyarakat. Khususnya masyarakat Toraja. Upacara kematian atau
biasanya disebut dengan sebutan Rambu solo’ oleh masyarakat lokal adalah sebuah
upacara kematian yang sangat unik dan sangat meriah. Upacara kematian upacara
ini bisa berlangsung selama beberapa hari atau biasanya hampir berminggu-
minggu dan menghabiskan banyak dana. Dan untuk persiapannya memakan waktu
berbulan- bulan atau bertaahun- tahun.
Baru- baru ini, telah
dilaksanakan sebuah upacara Rambu Solo’ di kabupaten Toraja Utara, tepatnya di
salah satu objek pariwisata terkenal di Toraja yaitu Ke’te Kesu. Almarhum yang
diupacarakan bernama Sindo’ Toding. Salah satu keturunan Bangsawan yang ada di
Toraja. Upacara ini berlangsung hampir dua minggu. Dan persiapan untuk membuat
pemondokan dan hal- hal lainnya yang akan digunakan dalam upacara, hampir
memakan waktu hampir satu tahun, dan memakan dana ratusan bahkan mungkin hampir
miliaran rupiah.
Upacara Rambu Solo’ yang
dilaksanakan di Ke’te Kesu ini disebut sebaga Upacara Massapu Randanan. Disebut
demikian karena, keluarga dari Almarhum tidak hanya akan memotong kerbau dan
babi pada upacara tersebut. Tetapi akan memotong domba, kambing, bahkan kuda.
Dan minimal kerbau yang harus mereka potong sebanyak 24 ekor kerbau. Upacara
Rambu Solo’ ini terbagi atas dua kali rentang waktu. Pertama, yaitu upacara
yang disebut Aluk Pia. Di mana, upacara ini dilaksanakan di sekitar Tongkonan
atau kediaman keluarga yang ditinggalkan. Dan yang kedua adalah Upacara Rante.
Upacara ini dilaksanakan di sebuah lapangan khusus yang tidak terlalu jauh dari
lokasi Tongkon. Kedua rentang upacara ini masih terbagi- bagi.
Yang pertama adalah Aluk Pia. Upacara
ini dimulai dari acara Ma’pasulluk yang dilaksanakan pada tangga 16 juli tahu
2012. Dimana, kerbau yang akan dipotong akan dikumpulkan di tempat upacara akan
berlangsung, dan dihias dengan berbagai macam pernak- pernik. Beberapa
diantaranya punggungnya ditutupi oleh sebuah kain yang disebut dengan Maa’.
Maa’ adalah semacam kain tenun yang berumur ratusan tahun dan tidak pernah
dicuci. Setelah semua kerbau terkumpul, semua kerbau tersebut dibawa untuk
mengelilingi tiga buah alang atau lumbung sebanyak tiga kali. Tetapi, sebelum
kerbau itu dibawa untuk mengelilingi Alang, ada dua orang yang membawa gong dan
salah satunya membunyikan gong tersebut lalu ada beberapa orang yang membawa
bendera yang berasal dari kain Maa’ dengan tiang dari bambu dan terakhir
diikuti oleh para kebau.
Setelah selesai, mereka kembali
berkumpul di tengah- tengah lokasi upacara, bendera yang dibawa tadi
ditancapkan tepat di depan salah satu rumah tongkonan atau rumah adat toraja
yang dimana, di teras rumah tongkonan tersebut telah diletakkan patung sang
Almarhum. Kemudian, mereka akan mengumumkan siapa yang memiliki kerbau yang
akan dipotong dan nama setiap kerbau. Mereka diberi kebebasan untuk memberikan
nama kepada kerbau mereka. Sedangkan setiap pengembala kerbau akan diberikan
enam buah pokon, semacan nasi ketan yang dimasak menggunakan santan lalu
dibungkus menggunakan daun salak, kemudian di kukus. Selain pokon, mereka juga
akan diberikan sepotong daging babi yang telah direbus di dalam panci besar dan
setiap sorenya, selama upacara Rambu Solo’ dilaksanakan, akan ada adu kerbau.
Kecuali pada saat Ma’ Parokko Alang, Ma’ Roto’, Mantunu serta Ma’Kaburu’.
Pada hari berikutnya, tepatnya
pada tanggal 18 Juli adalah Upacara Mangriu’ Batu. Upacara ini termasuk upacara
Rante. Pada upacara ini, semua masyarakat yang berada disekitar tempat upacara
akan datang untuk menarik batu mulai dari tempat mereka mengambilnya sampai ke
rante. Tempat untuk meletakkan jenazah saat upacara inti dan tempat untuk
memotong kerbau dan babi. Batu yang mereka ambil pada saat itu berada sekitar
hampir dua ratus meter dari rante dengan ukuran 3x1 meter. Jumlah masyarakat
yang datang untuk menarik batu dengan ukuran sebesar itu cukup banyak. Menurut
salah seorang yang datang untuk menarik batu, jumlah mereka hampir dua ratus.
Batu yang ditarik tersebut menandakan bahwa ada satu lagi orang yang dimakamkan
dengan uapacara Massapu randanan atau biasa juga disebut mangrapai’.
Saat mereka menarik batu
tersebut, ada salah seorang yang memberikan komando dan berbicara kotor dalam
upacara tersebut dibenarkan. Semua orang yang manarik batu, bagitupun dengan
orang memberikan komando dibebaskan untuk mengatakan hal- hal yang kotor . Hal
itu dilakukan karena, menurut kepercayaan masyarakat Toraja, jika mereka tidak
mengatakan hal- hal yang kotor, batu yang mereka tarik tidak akan berpindah.
Selain itu, di Toraja, tidak sembarang orang diperkenankan untuk ditarikkan
batu. hanya untuk yang berdarah bangsawan yang bisa diupacarakan dengan aturan
tersebut. Walaupun mereka memotong kerbau lebih dari seratus, tetapi mereka
bukanlah keturunan bangsawan, hal itu tidak diperkenankan. dan batu yang mereka
tarik tidak akan berpindah tempat berapapun jumlah orang yang menarikkanya jika
orang yang telah meninggal tidak layak untuk hal tersebut.
Kemudian di hari selanjutnya,
tepatnya tanggal 19 juli adalah Upacara Ma’Pasa’ Tedong. Upacara ini
dilaksanakan di dua tempat. Pertama di Tongkonan, kemudian di Rante. Hampir
sama dengan Ma’Pasulluk. Bedanya, pada upacara ini, semua kerbau baik yang akan
dipotong maupun yang tidak akan dipotong, atau kerbau yang disumbangkan oleh
keluarga yang lain, dari pemerintah, atau instansi lain akan dikumpulkan dan
akan dibawa berarak- arakan dan terakhir semua kerbau tersebut dikumpulkan di
sekitar rante, tepat di sekeliling Balaa’ Kaan. Balaa’ Kaan adalah sebuah pondok
kecil yang berukuran sekitar 4 meter persegi dengan disanggah oleh empat tiang
dan tingginya dari bawah tanah sekitar 4 meter. Dua meter dari tanah akan
dipasangi lantai yang terbuat dari kayu kemudian diberi atap. Tempat itu adalah
tempat untuk membagi- bagikan daging pada Upacara Mantunu.
Kemudian keesokan harinya
dilakasanakan upacara Ma’ parokko Alang atau menurunkan jenazah ke dari rumah
adat Toraja atau Tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan secara sementara.
Upacara ini dilaksanakan pada malam hari dan bertempat di lokasi tongkonan.
Kemudian, keesokan harinya, keluarga akan mengadakan ibadah dan malamnya
diadakan upacara Ma’roto’. Yaitu membubuhkan ornamen- ornamen ke peti jenazah
yang telah dibuat bundar. Ornamen- ornamen tersebut berupa kain merah yang
dipasangkan ke seluruh bagian peti, kemudian dihias dengan kertas yang berwarna
emas dan telah dipotong berdasarkan motif ukiran khas toraja. Upacara ini juga
masih dilakukan di sekitar Tongkonan.
Kemudian, tepatnya pada tanggal
23 Juli. Dilaksanakanlah upacara Ma’ Palao. Pada upacara ini, peti mati beserta
patung orang yang telah meninggal akan dibawa berarak- arakan menggunakan
Sarinngan atau alat untuk menopang peti. Saringgan ini dibuat seperti miniatur
dari Rumah Tongkonan dan dibawa menuju ke Rante dan diletakkan di sebuah tempat
yang disebut Lakkian. Arsitektur dari Lakkian ini menyerupai Alang. Hanya saja,
Lakkian lebih tinggi dibandingkan dengan Alang. Upacara Ma’palao ini termasuk
Upacara Rante.
Keesokan harinya upacara yang
diadakan disebut upacara Mantarima tamu dan diadakan di lokasi Tongkonan.
Setiap tamu akan dibawa secara berombongan menuju ke dalam sebuah pemondokan
yang cukup luas yang disebut Inan Pa’tammuan. Setiap rombongan pada bagian
depan ada beberapa kerbau yang dibawa oleh orang yang datang melayat, kemudian
berpuluh- puluh babi lalu diikuti oleh seseorang yang disebut Tau Ma’randing,
yaitu orang yang akan menunjukkan tempat para tamu akan duduk, dan dari
belakangnya diikuti oleh semua orang yang datang melayat dengan membuat barisan
yang cukup panjang. Setiap rombongan dapat mencapai seratus lebih orang dan dalam
satu hari, jumlah Rombongan yang masuk ke inan pa’tammuan sekitar sepuluh
rombongan.
Setelah para tamu atau
rombongan tiba di Inan Pa’tammuan, maka para wanita yang telah ditunjuka akan
membawakan minuman dan makanan untuk para tamu tersebut. Orang yang membawa
minuman tersebut disebut Tau Ma’ Pairu’. Jumlah mereka sekitar seratus orang.
Tetapi, sebelum mereka melayani para
tamu, para pria akan mempertunjukkan sebuah tarian sederhana yang disebut
Ma’badong, mereka akan membentuk lingkaran, memegang tangan satu sama lain,
lalu mulai menari dengan mengangkat tangan dan menyanyikan lagu yang liriknya
cukup sederhana. Selain untuk menghibur, Ma’badong juga bertujuan untuk
mengantarkan arwah Almarhum ke Puyo atau alam baka. Ketika para pria sedang Ma’
Badong, maka para wanita beriringan menuju ke Inan Pa’Tammuan untuk melayani
para tamu setelah anak atau keluarga dekat dari Almarhum memberikan sekapur
sirih atau rokok kepada para tamu.
Upacara ini berlangsung selama
dua hari. Pada hari kamis, mereka akan beristirahat untuk mempersiapkan upacara
pada hari berikutnya. Pada tangga 27 Juli, diadakanlah upacara mantunu, atau
upacara pemotongan semua hewan yang akan dikurbankan. Upacara ini akan diadakan
di Rante. Pada upacara yang ada di Ke’te Kesu, jumlah kerbau yang dipotong
sekitar 40 ekor dan yang tidak dipotong sekitar 45 ekor lebih. Sedangkan untuk
babi tidak terhitung jumlahnya.
Hari terakhir dari upacara ini
adalah upacara Ma’ Kaburu’. upacara ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juli. Pada upacara ini, peti jenazah akan disemayamkan di
Patene, tempat peristirahatan terakhir. Patane ini berbentuk seperti sebuah
rumah kecil. Tetapi, sebelum jenazah di bawa ke patane, jenazah akan kembali
dipindahkan ke Tongkonan bersama dengan patung orang yang telah meninggal dan
keluarga akan melaksanakan ibadah singkat setelah itu makan siang dan terakhir
peti jenazah dan patungnya akan dibawa ke patane.
Itulah hari terakhir dari uapacara Rambu Solo’. Cukup
rumit memang dan menghabiskan banyak biaya. Tetapi, itu adalah sebuah keharusan
yang harus mereka lakukan sebagai penghormatan terakhir kepada keluarga yang
telah meninggal.