Jumat, 31 Agustus 2012

Rambu Solo'


Rambu solo’ atau upacara kematian yang sering dilaksanakan di Toraja sudah tidak asing lagi didengar di sebagian kalangan masyarakat. Khususnya masyarakat Toraja. Upacara kematian atau biasanya disebut dengan sebutan Rambu solo’ oleh masyarakat lokal adalah sebuah upacara kematian yang sangat unik dan sangat meriah. Upacara kematian upacara ini bisa berlangsung selama beberapa hari atau biasanya hampir berminggu- minggu dan menghabiskan banyak dana. Dan untuk persiapannya memakan waktu berbulan- bulan atau bertaahun- tahun.
Baru- baru ini, telah dilaksanakan sebuah upacara Rambu Solo’ di kabupaten Toraja Utara, tepatnya di salah satu objek pariwisata terkenal di Toraja yaitu Ke’te Kesu. Almarhum yang diupacarakan bernama Sindo’ Toding. Salah satu keturunan Bangsawan yang ada di Toraja. Upacara ini berlangsung hampir dua minggu. Dan persiapan untuk membuat pemondokan dan hal- hal lainnya yang akan digunakan dalam upacara, hampir memakan waktu hampir satu tahun, dan memakan dana ratusan bahkan mungkin hampir miliaran rupiah.
Upacara Rambu Solo’ yang dilaksanakan di Ke’te Kesu ini disebut sebaga Upacara Massapu Randanan. Disebut demikian karena, keluarga dari Almarhum tidak hanya akan memotong kerbau dan babi pada upacara tersebut. Tetapi akan memotong domba, kambing, bahkan kuda. Dan minimal kerbau yang harus mereka potong sebanyak 24 ekor kerbau. Upacara Rambu Solo’ ini terbagi atas dua kali rentang waktu. Pertama, yaitu upacara yang disebut Aluk Pia. Di mana, upacara ini dilaksanakan di sekitar Tongkonan atau kediaman keluarga yang ditinggalkan. Dan yang kedua adalah Upacara Rante. Upacara ini dilaksanakan di sebuah lapangan khusus yang tidak terlalu jauh dari lokasi Tongkon. Kedua rentang upacara ini masih terbagi- bagi.
Yang pertama adalah Aluk Pia. Upacara ini dimulai dari acara Ma’pasulluk yang dilaksanakan pada tangga 16 juli tahu 2012. Dimana, kerbau yang akan dipotong akan dikumpulkan di tempat upacara akan berlangsung, dan dihias dengan berbagai macam pernak- pernik. Beberapa diantaranya punggungnya ditutupi oleh sebuah kain yang disebut dengan Maa’. Maa’ adalah semacam kain tenun yang berumur ratusan tahun dan tidak pernah dicuci. Setelah semua kerbau terkumpul, semua kerbau tersebut dibawa untuk mengelilingi tiga buah alang atau lumbung sebanyak tiga kali. Tetapi, sebelum kerbau itu dibawa untuk mengelilingi Alang, ada dua orang yang membawa gong dan salah satunya membunyikan gong tersebut lalu ada beberapa orang yang membawa bendera yang berasal dari kain Maa’ dengan tiang dari bambu dan terakhir diikuti oleh para kebau.
Setelah selesai, mereka kembali berkumpul di tengah- tengah lokasi upacara, bendera yang dibawa tadi ditancapkan tepat di depan salah satu rumah tongkonan atau rumah adat toraja yang dimana, di teras rumah tongkonan tersebut telah diletakkan patung sang Almarhum. Kemudian, mereka akan mengumumkan siapa yang memiliki kerbau yang akan dipotong dan nama setiap kerbau. Mereka diberi kebebasan untuk memberikan nama kepada kerbau mereka. Sedangkan setiap pengembala kerbau akan diberikan enam buah pokon, semacan nasi ketan yang dimasak menggunakan santan lalu dibungkus menggunakan daun salak, kemudian di kukus. Selain pokon, mereka juga akan diberikan sepotong daging babi yang telah direbus di dalam panci besar dan setiap sorenya, selama upacara Rambu Solo’ dilaksanakan, akan ada adu kerbau. Kecuali pada saat Ma’ Parokko Alang, Ma’ Roto’, Mantunu serta Ma’Kaburu’.
Pada hari berikutnya, tepatnya pada tanggal 18 Juli adalah Upacara Mangriu’ Batu. Upacara ini termasuk upacara Rante. Pada upacara ini, semua masyarakat yang berada disekitar tempat upacara akan datang untuk menarik batu mulai dari tempat mereka mengambilnya sampai ke rante. Tempat untuk meletakkan jenazah saat upacara inti dan tempat untuk memotong kerbau dan babi. Batu yang mereka ambil pada saat itu berada sekitar hampir dua ratus meter dari rante dengan ukuran 3x1 meter. Jumlah masyarakat yang datang untuk menarik batu dengan ukuran sebesar itu cukup banyak. Menurut salah seorang yang datang untuk menarik batu, jumlah mereka hampir dua ratus. Batu yang ditarik tersebut menandakan bahwa ada satu lagi orang yang dimakamkan dengan uapacara Massapu randanan atau biasa juga disebut mangrapai’.
Saat mereka menarik batu tersebut, ada salah seorang yang memberikan komando dan berbicara kotor dalam upacara tersebut dibenarkan. Semua orang yang manarik batu, bagitupun dengan orang memberikan komando dibebaskan untuk mengatakan hal- hal yang kotor . Hal itu dilakukan karena, menurut kepercayaan masyarakat Toraja, jika mereka tidak mengatakan hal- hal yang kotor, batu yang mereka tarik tidak akan berpindah. Selain itu, di Toraja, tidak sembarang orang diperkenankan untuk ditarikkan batu. hanya untuk yang berdarah bangsawan yang bisa diupacarakan dengan aturan tersebut. Walaupun mereka memotong kerbau lebih dari seratus, tetapi mereka bukanlah keturunan bangsawan, hal itu tidak diperkenankan. dan batu yang mereka tarik tidak akan berpindah tempat berapapun jumlah orang yang menarikkanya jika orang yang telah meninggal tidak layak untuk hal tersebut.
Kemudian di hari selanjutnya, tepatnya tanggal 19 juli adalah Upacara Ma’Pasa’ Tedong. Upacara ini dilaksanakan di dua tempat. Pertama di Tongkonan, kemudian di Rante. Hampir sama dengan Ma’Pasulluk. Bedanya, pada upacara ini, semua kerbau baik yang akan dipotong maupun yang tidak akan dipotong, atau kerbau yang disumbangkan oleh keluarga yang lain, dari pemerintah, atau instansi lain akan dikumpulkan dan akan dibawa berarak- arakan dan terakhir semua kerbau tersebut dikumpulkan di sekitar rante, tepat di sekeliling Balaa’ Kaan. Balaa’ Kaan adalah sebuah pondok kecil yang berukuran sekitar 4 meter persegi dengan disanggah oleh empat tiang dan tingginya dari bawah tanah sekitar 4 meter. Dua meter dari tanah akan dipasangi lantai yang terbuat dari kayu kemudian diberi atap. Tempat itu adalah tempat untuk membagi- bagikan daging pada Upacara Mantunu.
Kemudian keesokan harinya dilakasanakan upacara Ma’ parokko Alang atau menurunkan jenazah ke dari rumah adat Toraja atau Tongkonan ke lumbung untuk disemayamkan secara sementara. Upacara ini dilaksanakan pada malam hari dan bertempat di lokasi tongkonan. Kemudian, keesokan harinya, keluarga akan mengadakan ibadah dan malamnya diadakan upacara Ma’roto’. Yaitu membubuhkan ornamen- ornamen ke peti jenazah yang telah dibuat bundar. Ornamen- ornamen tersebut berupa kain merah yang dipasangkan ke seluruh bagian peti, kemudian dihias dengan kertas yang berwarna emas dan telah dipotong berdasarkan motif ukiran khas toraja. Upacara ini juga masih dilakukan di sekitar Tongkonan.
Kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli. Dilaksanakanlah upacara Ma’ Palao. Pada upacara ini, peti mati beserta patung orang yang telah meninggal akan dibawa berarak- arakan menggunakan Sarinngan atau alat untuk menopang peti. Saringgan ini dibuat seperti miniatur dari Rumah Tongkonan dan dibawa menuju ke Rante dan diletakkan di sebuah tempat yang disebut Lakkian. Arsitektur dari Lakkian ini menyerupai Alang. Hanya saja, Lakkian lebih tinggi dibandingkan dengan Alang. Upacara Ma’palao ini termasuk Upacara Rante.
Keesokan harinya upacara yang diadakan disebut upacara Mantarima tamu dan diadakan di lokasi Tongkonan. Setiap tamu akan dibawa secara berombongan menuju ke dalam sebuah pemondokan yang cukup luas yang disebut Inan Pa’tammuan. Setiap rombongan pada bagian depan ada beberapa kerbau yang dibawa oleh orang yang datang melayat, kemudian berpuluh- puluh babi lalu diikuti oleh seseorang yang disebut Tau Ma’randing, yaitu orang yang akan menunjukkan tempat para tamu akan duduk, dan dari belakangnya diikuti oleh semua orang yang datang melayat dengan membuat barisan yang cukup panjang. Setiap rombongan dapat mencapai seratus lebih orang dan dalam satu hari, jumlah Rombongan yang masuk ke inan pa’tammuan sekitar sepuluh rombongan.
                Setelah para tamu atau rombongan tiba di Inan Pa’tammuan, maka para wanita yang telah ditunjuka akan membawakan minuman dan makanan untuk para tamu tersebut. Orang yang membawa minuman tersebut disebut Tau Ma’ Pairu’. Jumlah mereka sekitar seratus orang. Tetapi, sebelum mereka  melayani para tamu, para pria akan mempertunjukkan sebuah tarian sederhana yang disebut Ma’badong, mereka akan membentuk lingkaran, memegang tangan satu sama lain, lalu mulai menari dengan mengangkat tangan dan menyanyikan lagu yang liriknya cukup sederhana. Selain untuk menghibur, Ma’badong juga bertujuan untuk mengantarkan arwah Almarhum ke Puyo atau alam baka. Ketika para pria sedang Ma’ Badong, maka para wanita beriringan menuju ke Inan Pa’Tammuan untuk melayani para tamu setelah anak atau keluarga dekat dari Almarhum memberikan sekapur sirih atau rokok kepada para tamu.
Upacara ini berlangsung selama dua hari. Pada hari kamis, mereka akan beristirahat untuk mempersiapkan upacara pada hari berikutnya. Pada tangga 27 Juli, diadakanlah upacara mantunu, atau upacara pemotongan semua hewan yang akan dikurbankan. Upacara ini akan diadakan di Rante. Pada upacara yang ada di Ke’te Kesu, jumlah kerbau yang dipotong sekitar 40 ekor dan yang tidak dipotong sekitar 45 ekor lebih. Sedangkan untuk babi tidak terhitung jumlahnya.
Hari terakhir dari upacara ini adalah upacara Ma’ Kaburu’. upacara ini dilaksanakan pada tanggal 28 Juli. Pada upacara ini, peti jenazah akan disemayamkan di Patene, tempat peristirahatan terakhir. Patane ini berbentuk seperti sebuah rumah kecil. Tetapi, sebelum jenazah di bawa ke patane, jenazah akan kembali dipindahkan ke Tongkonan bersama dengan patung orang yang telah meninggal dan keluarga akan melaksanakan ibadah singkat setelah itu makan siang dan terakhir peti jenazah dan patungnya akan dibawa ke patane.
Itulah hari terakhir dari uapacara Rambu Solo’. Cukup rumit memang dan menghabiskan banyak biaya. Tetapi, itu adalah sebuah keharusan yang harus mereka lakukan sebagai penghormatan terakhir kepada keluarga yang telah meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar