Rabu, 12 September 2012

Plasenta



Keunikan Toraja tidak pernah habis. Mulai upacara adatnya, rumah adat, bahasa dan tempat wisata merupakan sebuah keindahan dunia harmonis yang tidak pernah habis. Salah satu hal unik yang ada di Toraja dan belum banyak dikenal oleh masyarakat luar adalah penanaman plasenta atau biasanya disebut oleh masyarakat lokal sebagai Ari. Di Toraja, setiap ada seseorang yang melahirkan, Plasenta dari bayinya tidak langsung dibuang atau dikuburkan.
Masyarakat Toraja akan terlebih dahulu membersihkan Plasenta tersebut kemudian dibungkus bersama dengan beberapa buku tulis dan pensil atau polpen dengan menggunakan kain bersih. Lalu ditanam di samping rumah adat Toraja atau biasanya disebut Tongkonan. Mereka lalu memberi tanda tempat menguburkan plasenta tersebut dengan meletakkan sebuah batu besar di atasnya lalu menancapkan beberapa bilah bambu di sekeliling batu tersebut.
Selain itu, mereka juga menancapkan sebilah kayu hitam jika plasenta tersebut dari bayi laki- laki. Sedangkan jika kembar 1 laki- laki dan 1 perempuan, mereka tetap akan menambahkan satu bilah kayu hitam.
Pasti banya yang bertanya- tanya kenapa mereka harus membungkus plasenta tersebut bersama dengan buku tulis dan alat tulis, serta mengapa haru dikuburkan di samping rumah adat Toraja.
Alasan untuk kenapa mereka membungkus plasenta terlebih dahulu bersama dengan buku tulis dan alat tulis karena mereka percaya dengan perlakuan seperti itu, anak- anak mereka kelak akan rajin di sekolah, menjadi teladan, pintar dan sukses di masa depan.
Sedangkan alasan mereka menguburkan plasenta di samping rumah adat karena mereka percaya jika anak mereka pergi merantau ke negeri orang, dan sukses di sana, mereka akan tetap mengingat tempat kelahiran mereka walaupun mereka sukses di negeri orang. Mereka tidak akan pernah melupakan Toraja dan kembali ke Toraja untuk membangun daerah kelahiran mereka.

Ma' Nene' (Upacara Mengganti Pakaian Mayat di Toraja)



Toraja adalah sebuah daerah atau kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan yang sangat terkenal karena kekayaan budayanya dan tempat wisatanya yang unik. Banyak upacara adat yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Baik itu lokal maupun mancanegara. Diantaranya upacara Rambu Solo’ (Upacara Kematian, upacara Rambu Tuka’ (Upacara Syukuran), Ma’ Nene’ (Upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal yang telah dimakamkan) dan masih banyak lagi.
Yang sekarang akan dibahas di dalam blog ini yaitu Upacara Ma’Nene’. Seperti yang telah dituliskan diatas, upacara ini merupakan upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal dan dimakamkan atau para leluhur orang Toraja yang telah meninggal.
Upacara ini terbilang cukup unik dan khas karena upacara ini hanya dilakukan oleh masyarakat Baruppu’, Sika dan Rindingallo. Ketiga daerah ini merupakan tiga daerah yang letaknya berdekatan dan berada di pedalaman Toraja.  Ritual Ma’ Nene’ dilaksanakan setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan pada bulan Agustus.
Alasan dilaksanakan pada bulan Agustus karena upacara ini hanya dan harus dilakukan setelah panen. Dan di wilayah tersebut, musim panen bertepatan pada bulan Agustus. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa jika ritual Ma’Nene’ dilaksanakan sebelum musim panen, sawah dan ladang- ladang akan mengalami kerusakan dan hasil panen yang dihasilkan tidak akan maksimal karena adanya tikus dan ulat yang tiba- tiba datang dan merusak tanaman.
Menurut sebuah sumber, sejarah dari ritual atau upacara ini berawal dari kisah seorang pemburu binatang yang bernama Pong Rumasek yang datang ke hutan yang berada di pegunungan Balla untuk berburu. Saat dia sedang berburu, tiba- tiba Pong Rumasek menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang sangat mengenaskan dan memprihatinkan. Karena rasa iba dan kasihan, Pong Rumasek segera membawa jasad tersebut dan dikenakan pakaian dan menguburkannya dengan layak di suatu tempat yang aman.
Semenjak kejadian itu, Pong Rumasek sering mendapatkan berkah atau Rezeki. Tanah pertanian miliknya panen lebih cepat dari biasanya dan hasilnya lebih banyak. Dan jika Pong berburu, dia lebih cepat mendapatkan buruannya dengan mudah. Pong juga sering bertemu dengan arwah dari orang yang telah ia temukan di hutan dan membantunya dalam mencari buruan.
Karena peristiwa tersebut, Pong Rumasek kemudiap beranggapan bahwa jasad dari orang yang meninggal sekalipun harus tetap dirawat dan dihormati bagaimanapun keadaannya. Pong kemudian mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu, Sika dan Rindingallo. Dan sampai sekarang, amanah tersebut terus dilaksanakan oleh masyarakat dari ketiga daerah tersebut.
Sebenarnya, bertahun- tahun yang lalu, Ritual atau Upacara Ma’Nene’ tidak dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Dahulu, siapa pun yang ingin melaksanakan ritual tersebut, bebas melaksanakannya. Dengan syarat dilaksanakan setelah panen. Tetapi, setelah adanya kasus penculikan mumi seorang anak kecil berumur sekitar 8 bulan saat meninggal yang dikuburkan di tempat yang bernama Tp’ Liang, masyarakat sekitar berjanji akan melaksanakan upacara Ma’Nene’ setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan secara serempak di ketiga daerah tersebut jika mayat dari anak kecil itu kembali.
Singkat cerita, penculik dari Mumi tersebut ditemuka dan proses penjualan Mumi itu berhasil digagalkan oleh pihak berwajib dan dibawa kembali ke tempat asalnya yang berada di Rindingallo.
Prosesi Ma’Nene’ sendiri di ketiga daerah tersebut cukup berbeda. Kecuali di daerah Rindingallo dan Baruppu memiliki prosesi yang sama. Upacara ini diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat. Tempat tersebut biasanya disebut patane atau Liang. Patane dan Liang adalah dua tempat penguburan yang sangat berbeda. Patane berbentuk seperti rumah kecil, sedangkan Liang merupakat kuburan batu yang telah dipahat dengan membuat lubang yang cukup untuk memasukkan mayat kedalamnya. Di ketiga daerah tersebut, biasanya mayat tidak pernah diberikan pengawet. Sehingga, para mayat yang ada di daerah tersebut menjadi mumi. Atau masyarakat sekitar menyebutnya membatu.
Sebelum kuburannya dibuka dan petinya diangkat dari kuburan, para tetua atau yang biasanya disebut Ne’ Tomina Lumba memanjatkan doa dalam bahasa Toraja Kuno yang cukup susah untuk dimengerti. Setelah itu, maka mayat diangkat dari liang kubur dan mulai dibersihkan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat diganti pakaiannya dengan pakaian atau kain yang baru kemudian dibaringkan kedalam petinya kembali. Acara ini disebut acara Ma’bukka’. Mayat akan dikeluarkan dari liang kuburnya mulai pada tangga 25 agustus dan dimasukkan kembali pada akhir bulan agustus.
Di daerah Sika, mulai dari tanggal 25 sampai 30 agustus, para kaum laki- laki akan menjaga liang kubur dan setiap malam, mereka akan membuat lingkaran dan menarikan sebuah tarian tradisiona dan diiringi lagu dengan lirik sederhana yang biasanya disebut Ma’Badong. Selain itu, mereka juga akan Ma’dondi’ atau berbalas- balasan pantun satu dengan yang lain.
Pada hari terkahir, mereka akan memasukkan kembali mayat ke dalam liang kubur dan kembali ke rante sebuah tempat khusus untuk melaksanakan sebuah acara. Di sana mereka akan beribadah dan makan bersama. Acara ini disebut Mantutu’.

Minggu, 02 September 2012

Ukiran Toraja


Setiap daerah memiliki kerajinan tangan atau souvenir yang unik dan indah dari setiap daerahnya. Khususnya di Tana Toraja dan Toraja Utara, dua kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki budaya yang sama.
Kedua kabupaten ini merupakan kabupaten yamg selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Tempat wisata kedua kebupaten ini termasuk unik karena para wisatawan akan disuguhkan dengan keindahan perkampungan rumah adat di beberapa tempat wisata, kuburan batu dan sebagainya. Dan salah satu tempat wisata yang paling terkenal antara kedua kabupaten itu, yaitu Ke’te Kesu.
Selain di Ke’te Kesu kita bisa menikmati keindahan perkampungan rumah adat, Rante, dan kuburan batu, di sana juga kita bisa melihat cara pembuatann salah satu kerajinan tangan Toraja yaitu ukiran kayu. Jenis kayu yang mereka gunakan, mereka sebut kayu Uru. Selain bagus untuk diukir, mereka yakin, kayu ini akan tahan lama, kuat dan tidak terlalu berat, sehingga memudahkan para wisatawan untuk  membawanya.
Selain itu, warna yang mereka gunakan untuk mewarnai ukiran yang disebut litak, berasal dari tanah dan batu. untuk warna mereh, bersalah dari tanah, kuning juga dari tanah, dan putih dari batu kapur. Ketiga warna ini tidak akan luntur dari ukiran jika terkena air, dan tidak akan memudar jika terkena sinar matahari langsung. Sedangkan warna hitam yang mereka gunakan berasal dari arang.
Ukiran Toraja terlihat sangat halus karena hanya menggunakan satu jenis pisau yang sangat kecil dan sangat tajam. Selain itu, ketelitian pun sangat diperlukan dalam membuat ukiran Toraja sebab kerumitan motif yang digunakan.
Harga ukiran di Toraja berfariasi, tergantung dari kerumitan motif, kehalusan dan lamanya proses pengerjaan serta tidak tergantung pada ukurannya.
Jadi, jika ke Ke’te Kesu, jangan lupa singgah di tempat pembuatan ukiran yang berada tepat di samping museum. Di  sana, Andak akan menemukan berbagai jenis ukiran Toraja yang indah dan menarik. Walaupun haraganya cukup mahal, tapi, Anda akan puas dengan kualitasnya.

Jumat, 31 Agustus 2012

Asal Usul Nama dari Toraja


                Keunikan dari nama setiap daerah selalu unik dan memiliki makna tertentu bagi para penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Seperti halnya Toraja. Nama dari dua kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan. Nama dari kedua Kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Toraja Utara dan Tana Toraja. kabupaten ini menyimpan banyak kekayaan alam dan keunikan budaya dan merupakan salah satu tempat wisata terkenal di Indonesia.

                Dulu, kedua kabupaten ini merupakan satu kabupaten yaitu Tana Toraja. Tapi setelah mengalami pemekaran maka terbagilah atas 2 kabupaten. Kabupaten Toraja Utara terbentuk tepatnya pada tanggal 21 Juli 2008.
 
                Sebelum terjadi pemekaran, pada masa lampau, Tana Toraja disebut sebagai Tondok Lepongan Bulan, Tanah Matarik Allo kemudian berubah menjadi Tana Toraja. Menurut Departemen pendidikan dan kebudayaan di dalam buku Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan (1981-1982:60), penamaan Toraja terbagi atas beberapa pendapat. Diantaranya sebagai berikut:

1.       To-Riaja
Kata Toraja berasal dari kata To-Riaja. Dimana To berarti Orang dan Riaja berarti Utara. Penamaan ini bagi orang yang bertempat tinggal di selatan Tondok Lepongan Bulan.

2.       To-Rajang
Kata Toraja berasal dari kata To-Rajang. Dimana To berarti Orang dan Rajang berarti Barat. Penamaan ini berasal dari orang- orang Luwu menunjuk Tana Toraja di sebelah Barat.

3.       To-Raya
Kata Toraja juga dianggap berasal dari kata To-Raya yang dimana To berarti orang dan Raya berarti Timur. Penamaan ini berasal dari penamaan orang- orang makassar yang menunjuk Tana Toraja di sebelah Timur.

4.       To-Raja

Kata Toraja berasal dari kata To-Raja. To berarti orang dan Raja berarti Selatan. Dalam hal ini adanya pengakuan dari raja Sulawesi Selatan yang mengakui leluhurnya berasal dari Tondok Lepongan Bulan, Tanah Matarik Allo

Setiap nama dari setiap daerah di dunia ini pasti selalu memiliki makna, sejarah dan keunikan. Bagaimanapun anehnya, kita harus menghargai semua yang telah ada.