Rabu, 12 September 2012

Ma' Nene' (Upacara Mengganti Pakaian Mayat di Toraja)



Toraja adalah sebuah daerah atau kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan yang sangat terkenal karena kekayaan budayanya dan tempat wisatanya yang unik. Banyak upacara adat yang telah dikenal oleh masyarakat luas. Baik itu lokal maupun mancanegara. Diantaranya upacara Rambu Solo’ (Upacara Kematian, upacara Rambu Tuka’ (Upacara Syukuran), Ma’ Nene’ (Upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal yang telah dimakamkan) dan masih banyak lagi.
Yang sekarang akan dibahas di dalam blog ini yaitu Upacara Ma’Nene’. Seperti yang telah dituliskan diatas, upacara ini merupakan upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal dan dimakamkan atau para leluhur orang Toraja yang telah meninggal.
Upacara ini terbilang cukup unik dan khas karena upacara ini hanya dilakukan oleh masyarakat Baruppu’, Sika dan Rindingallo. Ketiga daerah ini merupakan tiga daerah yang letaknya berdekatan dan berada di pedalaman Toraja.  Ritual Ma’ Nene’ dilaksanakan setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan pada bulan Agustus.
Alasan dilaksanakan pada bulan Agustus karena upacara ini hanya dan harus dilakukan setelah panen. Dan di wilayah tersebut, musim panen bertepatan pada bulan Agustus. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa jika ritual Ma’Nene’ dilaksanakan sebelum musim panen, sawah dan ladang- ladang akan mengalami kerusakan dan hasil panen yang dihasilkan tidak akan maksimal karena adanya tikus dan ulat yang tiba- tiba datang dan merusak tanaman.
Menurut sebuah sumber, sejarah dari ritual atau upacara ini berawal dari kisah seorang pemburu binatang yang bernama Pong Rumasek yang datang ke hutan yang berada di pegunungan Balla untuk berburu. Saat dia sedang berburu, tiba- tiba Pong Rumasek menemukan sebuah jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang sangat mengenaskan dan memprihatinkan. Karena rasa iba dan kasihan, Pong Rumasek segera membawa jasad tersebut dan dikenakan pakaian dan menguburkannya dengan layak di suatu tempat yang aman.
Semenjak kejadian itu, Pong Rumasek sering mendapatkan berkah atau Rezeki. Tanah pertanian miliknya panen lebih cepat dari biasanya dan hasilnya lebih banyak. Dan jika Pong berburu, dia lebih cepat mendapatkan buruannya dengan mudah. Pong juga sering bertemu dengan arwah dari orang yang telah ia temukan di hutan dan membantunya dalam mencari buruan.
Karena peristiwa tersebut, Pong Rumasek kemudiap beranggapan bahwa jasad dari orang yang meninggal sekalipun harus tetap dirawat dan dihormati bagaimanapun keadaannya. Pong kemudian mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu, Sika dan Rindingallo. Dan sampai sekarang, amanah tersebut terus dilaksanakan oleh masyarakat dari ketiga daerah tersebut.
Sebenarnya, bertahun- tahun yang lalu, Ritual atau Upacara Ma’Nene’ tidak dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Dahulu, siapa pun yang ingin melaksanakan ritual tersebut, bebas melaksanakannya. Dengan syarat dilaksanakan setelah panen. Tetapi, setelah adanya kasus penculikan mumi seorang anak kecil berumur sekitar 8 bulan saat meninggal yang dikuburkan di tempat yang bernama Tp’ Liang, masyarakat sekitar berjanji akan melaksanakan upacara Ma’Nene’ setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan secara serempak di ketiga daerah tersebut jika mayat dari anak kecil itu kembali.
Singkat cerita, penculik dari Mumi tersebut ditemuka dan proses penjualan Mumi itu berhasil digagalkan oleh pihak berwajib dan dibawa kembali ke tempat asalnya yang berada di Rindingallo.
Prosesi Ma’Nene’ sendiri di ketiga daerah tersebut cukup berbeda. Kecuali di daerah Rindingallo dan Baruppu memiliki prosesi yang sama. Upacara ini diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat. Tempat tersebut biasanya disebut patane atau Liang. Patane dan Liang adalah dua tempat penguburan yang sangat berbeda. Patane berbentuk seperti rumah kecil, sedangkan Liang merupakat kuburan batu yang telah dipahat dengan membuat lubang yang cukup untuk memasukkan mayat kedalamnya. Di ketiga daerah tersebut, biasanya mayat tidak pernah diberikan pengawet. Sehingga, para mayat yang ada di daerah tersebut menjadi mumi. Atau masyarakat sekitar menyebutnya membatu.
Sebelum kuburannya dibuka dan petinya diangkat dari kuburan, para tetua atau yang biasanya disebut Ne’ Tomina Lumba memanjatkan doa dalam bahasa Toraja Kuno yang cukup susah untuk dimengerti. Setelah itu, maka mayat diangkat dari liang kubur dan mulai dibersihkan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat diganti pakaiannya dengan pakaian atau kain yang baru kemudian dibaringkan kedalam petinya kembali. Acara ini disebut acara Ma’bukka’. Mayat akan dikeluarkan dari liang kuburnya mulai pada tangga 25 agustus dan dimasukkan kembali pada akhir bulan agustus.
Di daerah Sika, mulai dari tanggal 25 sampai 30 agustus, para kaum laki- laki akan menjaga liang kubur dan setiap malam, mereka akan membuat lingkaran dan menarikan sebuah tarian tradisiona dan diiringi lagu dengan lirik sederhana yang biasanya disebut Ma’Badong. Selain itu, mereka juga akan Ma’dondi’ atau berbalas- balasan pantun satu dengan yang lain.
Pada hari terkahir, mereka akan memasukkan kembali mayat ke dalam liang kubur dan kembali ke rante sebuah tempat khusus untuk melaksanakan sebuah acara. Di sana mereka akan beribadah dan makan bersama. Acara ini disebut Mantutu’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar