Toraja adalah sebuah daerah atau
kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan yang sangat terkenal karena
kekayaan budayanya dan tempat wisatanya yang unik. Banyak upacara adat yang
telah dikenal oleh masyarakat luas. Baik itu lokal maupun mancanegara. Diantaranya
upacara Rambu Solo’ (Upacara Kematian, upacara Rambu Tuka’ (Upacara Syukuran),
Ma’ Nene’ (Upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal yang telah
dimakamkan) dan masih banyak lagi.
Yang sekarang akan dibahas di
dalam blog ini yaitu Upacara Ma’Nene’. Seperti yang telah dituliskan diatas,
upacara ini merupakan upacara mengganti pakaian orang yang telah meninggal dan
dimakamkan atau para leluhur orang Toraja yang telah meninggal.
Upacara ini terbilang cukup unik
dan khas karena upacara ini hanya dilakukan oleh masyarakat Baruppu’, Sika dan
Rindingallo. Ketiga daerah ini merupakan tiga daerah yang letaknya berdekatan
dan berada di pedalaman Toraja.
Ritual
Ma’ Nene’ dilaksanakan setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan pada bulan
Agustus.
Alasan dilaksanakan pada bulan
Agustus karena upacara ini hanya dan harus dilakukan setelah panen. Dan di
wilayah tersebut, musim panen bertepatan pada bulan Agustus. Masyarakat sekitar
mempercayai bahwa jika ritual Ma’Nene’ dilaksanakan sebelum musim panen, sawah
dan ladang- ladang akan mengalami kerusakan dan hasil panen yang dihasilkan
tidak akan maksimal karena adanya tikus dan ulat yang tiba- tiba datang dan
merusak tanaman.
Menurut sebuah sumber, sejarah
dari ritual atau upacara ini berawal dari kisah seorang pemburu binatang yang
bernama Pong Rumasek yang datang ke hutan yang berada di pegunungan Balla untuk
berburu. Saat dia sedang berburu, tiba- tiba Pong Rumasek menemukan sebuah
jasad manusia yang telah meninggal dunia dengan kondisi yang sangat mengenaskan
dan memprihatinkan. Karena rasa iba dan kasihan, Pong Rumasek segera membawa
jasad tersebut dan dikenakan pakaian dan menguburkannya dengan layak di suatu
tempat yang aman.
Semenjak kejadian itu, Pong
Rumasek sering mendapatkan berkah atau Rezeki. Tanah pertanian miliknya panen lebih
cepat dari biasanya dan hasilnya lebih banyak. Dan jika Pong berburu, dia lebih
cepat mendapatkan buruannya dengan mudah. Pong juga sering bertemu dengan arwah
dari orang yang telah ia temukan di hutan dan membantunya dalam mencari buruan.
Karena peristiwa tersebut, Pong
Rumasek kemudiap beranggapan bahwa jasad dari orang yang meninggal sekalipun
harus tetap dirawat dan dihormati bagaimanapun keadaannya. Pong kemudian
mewariskan amanahnya kepada penduduk Baruppu, Sika dan Rindingallo. Dan sampai
sekarang, amanah tersebut terus dilaksanakan oleh masyarakat dari ketiga daerah
tersebut.
Sebenarnya, bertahun- tahun yang
lalu, Ritual atau Upacara Ma’Nene’ tidak dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Dahulu,
siapa pun yang ingin melaksanakan ritual tersebut, bebas melaksanakannya. Dengan
syarat dilaksanakan setelah panen. Tetapi, setelah adanya kasus penculikan mumi
seorang anak kecil berumur sekitar 8 bulan saat meninggal yang dikuburkan di
tempat yang bernama Tp’ Liang, masyarakat sekitar berjanji akan melaksanakan
upacara Ma’Nene’ setiap 3 tahun sekali dan dilaksanakan secara serempak di
ketiga daerah tersebut jika mayat dari anak kecil itu kembali.
Singkat cerita, penculik dari
Mumi tersebut ditemuka dan proses penjualan Mumi itu berhasil digagalkan oleh
pihak berwajib dan dibawa kembali ke tempat asalnya yang berada di Rindingallo.
Prosesi Ma’Nene’ sendiri di
ketiga daerah tersebut cukup berbeda. Kecuali di daerah Rindingallo dan Baruppu
memiliki prosesi yang sama. Upacara ini diawali dengan mengunjungi lokasi
tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat. Tempat tersebut biasanya
disebut patane atau Liang. Patane dan Liang adalah dua tempat penguburan yang
sangat berbeda. Patane berbentuk seperti rumah kecil, sedangkan Liang merupakat
kuburan batu yang telah dipahat dengan membuat lubang yang cukup untuk
memasukkan mayat kedalamnya. Di ketiga daerah tersebut, biasanya mayat tidak
pernah diberikan pengawet. Sehingga, para mayat yang ada di daerah tersebut
menjadi mumi. Atau masyarakat sekitar menyebutnya membatu.
Sebelum kuburannya dibuka dan
petinya diangkat dari kuburan, para tetua atau yang biasanya disebut Ne’ Tomina
Lumba memanjatkan doa dalam bahasa Toraja Kuno yang cukup susah untuk
dimengerti. Setelah itu, maka mayat diangkat dari liang kubur dan mulai
dibersihkan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan menggunakan kuas
atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat diganti pakaiannya dengan pakaian
atau kain yang baru kemudian dibaringkan kedalam petinya kembali. Acara ini
disebut acara Ma’bukka’. Mayat akan dikeluarkan dari liang kuburnya mulai pada
tangga 25 agustus dan dimasukkan kembali pada akhir bulan agustus.
Di daerah Sika, mulai dari
tanggal 25 sampai 30 agustus, para kaum laki- laki akan menjaga liang kubur dan
setiap malam, mereka akan membuat lingkaran dan menarikan sebuah tarian
tradisiona dan diiringi lagu dengan lirik sederhana yang biasanya disebut Ma’Badong.
Selain itu, mereka juga akan Ma’dondi’ atau berbalas- balasan pantun satu
dengan yang lain.
Pada hari terkahir, mereka akan
memasukkan kembali mayat ke dalam liang kubur dan kembali ke rante sebuah
tempat khusus untuk melaksanakan sebuah acara. Di sana mereka akan beribadah
dan makan bersama. Acara ini disebut Mantutu’.